Minggu, 06 Mei 2018

, , ,

Jusuf Kalla Jadi Cawapres Dianggap Preseden Yang Buruk Untuk Demokrasi Indonesia

Jusuf Kalla Jadi Cawapres Dianggap Preseden Yang Buruk Untuk Demokrasi Indonesia



BERITA HARIAN - Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan juga Partai Golkar yang masih mempertimbangkan Wakil Presiden Jusuf Kalla untuk kembali mendampingi Presiden Joko Widodo pada juga Pemilihan Presiden 2019.

Pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Lili Romli yang mengatakan, pencalonan kembali Jusuf Kalla sebagai calon wakil presiden justru yang akan menjadi preseden buruk bagi demokrasi Indonesia.

"Tidak bagus untuk demokrasi. Karena tujuan pemilu adalah, salah satunya memberikan pendidikan politik, kedua sirkulasi," kata Lili di Menteng, Jakarta, Sabtu (5/5/2018).

Menurut Lili, sebagai pendidikan politik, maka pemilu yang  harus memberikan pencerdasan, rasionalitas, kemajuan bagi bangsa dan masyarakat.

"Bahwa dalam rangka pemilu yang banyak pemimpin-pemimpin yang baik," ucap Lili.

Sedangkan, sebagai sirkulasi, tujuan pemilu adalah yang akan melakukan pergantian. Karena itu, dalam demokrasi perlu adanya pembatasan masa kepemimpinan.

"Hukum alam dari kekuasaan kan ingin yang bertahan, dalam sistem demokrasi dibatasi kekuasaan itu. Harus ada pergantian, makanya pemilu," kata Lili.

Menurut Lili, fenomena saat ini menunjukkan bahwa partai politik hanya berpikir pendek dan tidak mau mencari alternatif lain. Padahal, rakyat punya hak untuk yang akan memilih calon pemimpinnya.

"Apakah tidak ada calon-calon yang lain, yang akan mungkin tidak sebagus Pak Jusuf Kalla atau (bahkan) lebih bagus dari Pak Jusuf Kalla?" kata Lili.

Lili menganalisis, ada beberapa alasan mengapa Jusuf Kalla masih didorong untuk mendampingi Jokowi. Padahal, Undang-Undang Dasar 1945 jelas yang melarang Jusuf Kalla kembali ikut sebagai cawapres.

Dorongan itu yakni ada yang kekhawatiran bahwa berdasarkan hitung-hitungan cawapres yang ada tidak memberikan sebuah kontribusi terhadap Jokowi. Kekhawatiran lain adalah resistensi masayarakat.

Menurut Lili, ada kekhawatiran, jika cawapres Jokowi tidak diterima oleh masyarakat, maka hal tersebut adalah sinyal kekalahan terhadap Jokowi pada Pilpres 2019.

Baca juga : Liverpool Yang Doakan Ferguson Lekas Pulih Kembali

"Sebenarnya, elektabilitas Jokowi tinggi. Tapi kemudian karena berkembang di masyarakat ada resistensi bahwa kalau Pak Jokowi harus menyandingkan dari kalangan Islam, dan itu ada di sosok pak Jusuf Kalla," ujar dia.

Karena itu, Lili berharap Mahkamah Konstitusi bisa mengambil keputusan yang tepat atas gugatan pasal tentang syarat pencalonan diri presiden atau wapres di UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

"Saya berharap MK tidak membuat sejarah yang kelam," kata Lili.

Lili pun juga berharap Jusuf Kalla secara tegas menolak niat PDI-P dan Partai Golkar untuk mendorong dirinya kembali mendampingi Jokowi dua periode.

"Harus ada respons dari Pak Jusuf Kalla bahwa, 'saya tidak bersedia'. Karena ini legacy buat
Pak Jusuf Kalla. Dia sebagai negarawan harus ditutup dengan kontribusi untuk memberikan kesempatan regenerasi buat yang lain," ucap Lili.

Pasal 7 Undang-Undang Dasar 1945 mengatur bahwa Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.

Sementara, Jusuf Kalla sudah dua kali menjadi wakil presiden, yakni pada periode 2004-2009 dan 2014-2019.

Aturan yang menghalangi JK untuk maju lagi sebagai cawapres juga terdapat dalam Pasal 16 huruf dan huruf 227 huruf I UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Pasal tersebut memberikan syarat bagi Presiden dan Wakil Presiden untuk maju di Pilpres, yaitu: belum pernah menjabat sebagai Presiden atau Wakil Presiden selama 2 (dua) kali masa jabatan yang sama.

Namun saat ini, sekelompok warga yang mengaku sebagai penggemar Kalla telah malayangkan gugatan uji meteriil Pasal 16 huruf dan huruf 227 huruf I UU Pemilu ke MK.

Top Ad 728x90

0 komentar:

Posting Komentar

Top Ad 728x90